Friday 26 July 2013

Intisari Tauhid

1,376 klik || 

Bookmark and Share
Surga Untuk Muwahhid dan Neraka Untuk Musyrik
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ لَا يُشْرِكُ به شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang menemui Allah (meninggal) dalam keadaan tidak berbuat syirik terhadap-Nya sedikit pun, pasti masuk surga, (tetapi) barangsiapa yang menemui-Nya (meninggal) dalam keadaan berbuat syirik terhadap-Nya sedikit sekalipun, dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa barang siapa yang meninggal di atas tauhid, perihal masuknya ia ke dalam surga adalah sudah pasti, meskipun ia adalah seorang pelaku dosa besar dan meninggal dalam keadaan terus menerus berbuat dosa maka ia berada di bawah kehendak Allah. Kalau menghendaki, Allah akan memaafkan dan langsung memasukkan dia ke surga. Akan tetapi, kalau menghendaki (lain), Allah akan mengadzab dia di neraka, kemudian dia
dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Adapun orang yang meninggal di atas kesyirikan besar, ia tidak akan masuk surga, tidak akan mendapat rahmat dari Allah, dan dikekalkan di neraka. Kalau meninggal di atas syirik kecil, ia dimasukkan ke dalam neraka (kalau tidak memiliki amal kebaikan yang mengalahkan
kesyirikannya), tetapi ia tidak akan kekal di dalam (neraka) tersebut.
Faedah Hadits:
1. Kewajiban takut terhadap kesyirikan karena, agar selamat dari neraka, dipersyaratkan untuk selamat dari kesyirikan.
2. Bahwasanya yang dianggap (yang menjadi ukuran) itu bukanlah banyaknya amalan, tetapi yang dianggap (sebagai ukuran) adalah selamatnya amalan dari kesyirikan.
3. Penjelasan tentang makna Lâ Ilâha Illallâh, yaitu meninggalkan kesyirikan dan mengesakan Allah dalam ibadah.
4. Dekatnya surga dan neraka dari seorang hamba, bahwasanya tiada yang memisahkan seorang hamba dengan surga atau neraka, kecuali kematian.
5. Keutamaan orang yang selamat dari kesyirikan.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Ancaman Bagi Pelaku Kesyirikan
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa (menyembah) selain Allah sebagai tandingan (bagi Allah), ia akan masuk ke dalam neraka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry)
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa, barangsiapa yang mengadakan tandingan yang disamakan dan diserupakan dengan Allah dalam peribadahan, yang ia berdoa, meminta, dan memohon keselamatan kepada (tandingan) itu, baik tandingan tersebut berupa nabi maupun selainnya, dan ia terus menerus berada dalam keadaan seperti itu sampai meninggal dan tidak bertaubat sebelum meninggal, tempat kembali dia adalah neraka karena ia telah musyrik.
Membuat tandingan (bagi Allah) ada dua macam:
Pertama: mengadakan sekutu bagi Allah dalam jenis-jenis ibadah atau pada sebagian (jenis) maka ini adalah syirik besar yang pelakunya kekal di neraka.
Kedua: hal-hal yang termasuk ke dalam syirik kecil, seperti ucapan seseorang, “Apa-apa yang Allah dan engkau kehendaki,” “Kalau bukan karena Allah dan kamu,” serta ucapan lain yang semisal yang mengandung kata sambung dan pada lafazh Jalâlah (Allah). Juga seperti riya yang ringan, ini tidak menjadikan pelakunya kekal di neraka meskipun masuk ke dalamnya.
Faedah Hadits:
1. Memberi pertakutan terhadap perbuatan syirik, dan anjuran untuk bertaubat dari kesyirikan sebelum seseorang meninggal.
2. Bahwa setiap orang yang, bersamaan dengan doanya kepada Allah, berdoa pula kepada seorang nabi atau wali, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, atau kepada batu atau pohon, berarti ia telah mengadakan tandingan bagi Allah.
3. Bahwa dosa syirik tidak akan diampuni, kecuali bila (pelakunya) bertaubat.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Bahaya Riya (Syirik Kecil)
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ, فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ: الرِّيَاءُ.
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik kecil.”
Ketika ditanya tentang (syirik kecil) itu, beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy)
Karena kesempurnaan belas kasih dan sayang beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallamkepada umatnya serta kesempurnaan tulusnya kebaikan kepada mereka, tidaklah ada suatu kebaikan, kecuali pastilah beliau telah tunjukkan hal itu kepada umatnya, dan tidaklah ada suatu kejelekan, kecuali pastilah beliau telah peringatkan umat darinya. Di antara kejelekan yang Rasulullah peringatkan adalah penampilan yang menampakkan ibadah kepada Allah dengan maksud untuk mendapatkan pujian dari manusia karena hal itu termasuk ke dalam syirik dalam ibadah -yang meskipun syirik kecil, bahayanya sangat besar- sebab hal itu bisa membatalkan amalan yang disertainya juga tatkala jiwa memiliki tabiat senang akan kepemimpinan dan mendapatkan kedudukan di hati-hati manusia, kecuali orang-orang yang Allah selamatkan. Oleh karena itu, jadilah riya sebagai perkara yang sangat dikhawatirkan terjadi pada orang-orang shalih -karena kuatnya dorongan ke arah hal tersebut-. Berbeda dengan dorongan untuk berbuat syirik besar, yang boleh jadi (dorongan tersebut) tidak ada di dalam hati orang-orang mukmin yang sempurna, atau (dorongan tersebut) lemah kalaupun ada.
Faedah Hadits
1. Kekuatan rasa takut untuk terjatuh ke dalam syirik kecil. Hal itu ditinjau dari dua sisi:
a. Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan terjadinya syirik tersebut dengan kekhawatiran yang sangat.
b. Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan hal tersebut terhadap orang-orang shalih yang sempurna maka orang-orang yang (derajatnya) berada di bawah mereka tentu lebih dikhawatirkan untuk terjatuh ke dalam kesyirikan tersebut.
2. Besarnya kasih sayang beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya serta semangat beliau untuk memberi petunjuk dan nasihat kepada umatnya.
3. Bahwa kesyirikan terbagi menjadi syirik besar dan syirik kecil, -syirik besar berarti menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah dalam perkara-perkara yang menjadi kekhususan Allah, sedang syirik kecil adalah hal yang disebut dalam nash sebagai kesyirikan, tetapi tidak sampai pada derajat syirik besar-.
Perbedaan antara keduanya adalah:
a. Syirik besar membatalkan seluruh amalan, sedangkan syirik kecil hanya membatalkan amalan yang sedang dikerjakan.
b. Syirik besar menjadikan pelakunya kekal di neraka, sedangkan syirik kecil tidak menjadikan pelakunya kekal di neraka.
c. Syirik besar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedangkan syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari Islam.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Ketakutan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salâm Terhadap Kesyirikan
Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salâm berkata:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“…Dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala-berhala.” [Ibrâhîm: 35]
Nabi Ibrahim Al-Khalîl ‘alaihish shalâtu was salâm berdoa kepada Rabb-nya ‘Azza wa Jalla agar menjadikan dirinya dan anak cucunya berada pada sisi yang jauh dari peribadahan kepada patung-patung, dan agar Allah menjauhkan dirinya dari peribadahan tersebut, karena fitnah dari (peribadahan) itu sangat besar, dan tiada yang aman dari terjerumus kepada (peribadahan) tersebut.
Faedah Ayat:
1. Sikap takut terhadap kesyirikan karena Ibrahim alaihi salam -yang beliau adalah pemimpin bagi orang-orang yang condong kepada tauhid dan jauh dari syirik, yang telah menghancurkan patung-patung dengan tangannya- khawatir bila dirinya terjatuh dalam kesyirikan maka bagaimana dengan selain Ibrahim ‘alaihis salâm?
2. Disyariatkan berdoa untuk menolak malapetaka, dan bahwasanya manusia
pasti perlu kepada Allah.
3. Disyariatkan berdoa untuk kebaikan diri dan anak keturunannya.
4. Bantahan terhadap orang-orang jahil yang mengatakan, “Kesyirikan tidak akan terjadi pada umat ini,” sehingga mereka merasa aman dari hal maka mereka pun terjerumus ke dalam hal tersebut.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Kesyirikan Dosa Tak Terampuni
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, (tetapi) Dia mengampuni (dosa) selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ`: 48, 116]
Bahwa Allah Subhânahu mengabarkan dengan kabar yang pasti bahwa diri-Nya tidak akan memaafkan seorang hamba yang berjumpa dengan-Nya dalam keadaan berbuat syirik, dengan tujuan untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kesyirikan, dan bahwa Allah akan memaafkan dosa-dosa selain dosa syirik bagi siapa saja yang Dia kehendaki untuk dimaafkan sebagai karunia dan kebaikan dari-Nya, agar kita tidak berputus asa dari rahmat Allah.

Faedah Ayat:
1. Bahwa syirik merupakan dosa terbesar karena Allah telah mengabarkan bahwa diri-Nya tidak akan mengampuni orang yang tidak bertaubat dari perbuatan syirik.
2. Bahwa dosa-dosa selain dosa syirik, apabila seseorang tidak bertaubat darinya, masuk di bawah kehendak Allah. Kalau menghendaki, Allah akan mengampuninya tanpa bertaubat, dan kalau menghendaki, Dia akan mengadzab karenanya. Maka, dalam hal ini, terdapat dalil tentang bahaya dosa syirik.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Sifat-Sifat Mereka yang Merealisasikan Tauhid
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang menjadi teladan, senantiasa patuh kepada Allah dan menghadapkan diri (hanya kepada kepada-Nya), serta sama sekali ia tidak termasuk sebagai orang-orang musyrik.” [An-Nahl: 120]
Makna Ayat Pertama secara Global
Bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menyifati Ibrahim, khalil-Nya ‘alaihis salâm, dengan empat sifat:
Sifat pertama, bahwa Ibrahim adalah teladan dalam kebaikan untuk menyempurnakan derajat kesabaran dan keyakinannya yang, dengan keduanya, akan teraih kepemimpinan dalam agama.
Sifat kedua, bahwa Ibrahim adalah seorang yang khusyu’, taat, dan terus menerus beribadah kepada Allah Ta’âlâ.
Sifat ketiga, bahwa Ibrahim berpaling dari kesyirikan dan menghadapkan diri hanya kepada Allah Ta’âlâ.
Sifat keempat, jauhnya Ibrahim dari kesyirikan dan berlepas dirinya ia dari orang-orang musyrikin
Faedah Ayat:
1. ​Keutamaan bapak kita, Ibrahim ‘alaihis shalâtu wa salâm.
2. ​Meneladani Nabi Ibrahim pada sifat-sifat agung tersebut.
3. ​Penjelasan tentang sifat-sifat yang dengannyalah realisasi tauhid dapat terpenuhi.
4. ​Kewajiban menjauhi kesyirikan dan orang-orang musyrikin serta berlepas diri dari orang-orang musyrikin tersebut.
5. ​Seseorang disifati sebagai orang beriman karena merealisasikan tauhid.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Ampunan yang Maha Besar bagi Mereka yang Bertauhid dan Tidak Berlaku Syirik
وَلِلتِّرْمِذِيِّ – وَحَسَّنَهُ: عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئاً لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً(
Dalam riwayat At-Tirmidzy -beliau menghasankannya- (disebutkan): Dari Anasradhiyallâhu ‘anhu (beliau berkata), “Saya mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Ta’âlâ berfirman, ‘Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, (tetapi) kemudian engkau meninggal (dalam keadaan) tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Ku, niscaya Aku memberikan ampunan sepenuh bumi pula kepadamu.’.’.”
Makna Hadits Secara Global
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa (Allah) berbicara kepada hamba-hamba-Nya dan menjelaskan kepada mereka tentang keluasan karunia dan rahmat-Nya, dan bahwasanya Allah akan mengampuni dosa-dosa sebanyak apapun selama bukan dosa syirik. Hadits ini memiliki makna seperti firman Allah Ta’âlâ,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni dosa kesyirikan, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain (kesyirikan) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ`: 48, 116]
Faedah Hadits:
1. ​Keutamaan dan banyaknya pahala tauhid.
2. ​Keluasan karunia Allah, kebaikan, rahmat, dan pemaafan-Nya.
3. ​Bantahan terhadap Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar selain kesyirikan.
4. ​Penetapan sifat Kalam (Berbicara) bagi Allah ‘Azza wa Jalla atas apa-apa yang pantas dengan kemuliaan-Nya.
5.Penjelasan tentang makna Lâ Ilâha Illallâh, dan bahwasanya maknanya adalah meninggalkan kesyirikan, baik (kesyirikan) itu sedikit maupun banyak, dan tidaklah cukup dengan sekadar mengucapkan (kalimat) tersebut secara lisan.
6. ​Penetapan (akan adanya hari) berbangkit, hisab (perhitungan), dan pembalasan amalan.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Keutamaan Lâ Ilâha Illallâ: Diharamkan dari Neraka
Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâ, mengharapkan dengannya wajah Allah.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Makna Hadits Secara Global
Bahwa Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dengan kabar yang tegas bahwa orang yang mengucapkan kalimat Lâ Ilâha Illallâh dengan tujuan seperti yang ditunjukkan oleh kalimat tersebut, berupa ikhlas dan tidak berbuat syirik serta mengamalkan hal itu secara lahir dan batin, kemudian meninggal dalam keadaan seperti itu, ia tidak akan disentuh oleh api neraka pada hari kiamat.
Faedah Hadits:
1. ​Keutamaan tauhid, dan bahwa tauhid membebaskan pemiliknya dari neraka dan menghapuskan dosa-dosanya.
2. ​Bahwasanya ucapan tanpa keyakinan hati tidaklah cukup bagi keimanan, seperti keadaan orang-orang munafik.
3. ​Bahwasanya keyakinan (hati) tanpa ucapan tidaklah cukup bagi keimanan, seperti keadaan para penentang.
4. ​Diharamkannya neraka terhadap orang-orang yang memiliki tauhid yang sempurna.
5. Bahwa amalan tidak bermanfaat, kecuali dengan ikhlas mengharap wajah Allah dan benar sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
6. ​Orang yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh, tetapi juga berdoa kepada selain Allah, ucapannya tidaklah bermanfaat, seperti keadaan para penyembah kubur pada hari ini bahwa mereka mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh, tetapi mereka (juga justru) berdoa kepada orang yang sudah meninggal serta mendekatkan diri kepada orang tersebut.
7. ​Penetapan sifat wajah bagi Allah Ta’âlâ sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Allah Menjanjikan Surga bagi Mereka yang Bertauhid
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ) أَخْرَجَاهُ
Dari ‘Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar, kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya, juga (bersaksi) bahwa Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya,kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya, serta bahwa surga adalah benar (adanya) juga neraka adalah benar (adanya), Allah pasti memasukkan dia ke dalam surga betapapun amal yang telah dia perbuat.”
Dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâry dan Muslim)
Makna Hadits Secara Global
Sesungguhnya Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita, dalam rangka menerangkan keutamaan dan kemuliaan tauhid, bahwa orang yang mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) dalam keadaan mengerti maknanya dan mengamalkan konsekuensinya secara lahir dan batin, menjauhi sikap berlebih-lebihan dan meremehkan hak dua nabi yang mulia, yaitu Isa dan Muhammad ‘alaihimas shalâtu was salâm, -mengakui kerasulan dan kehambaan keduanya kepada Allah dan meyakini bahwa keduanya tidak memiliki sedikitpun kekhususan dalam sifat rubûbiyyah- serta meyakini keberadaan surga dan neraka, tempat kembali dia adalah surga, meskipun darinya muncul perbuatan-perbuatan maksiat selain kesyirikan.
Faedah Hadits:
1. ​Keutamaan tauhid, dan bahwa sesungguhnya Allah menghapuskan dosa-dosa (hambanya) dengan (sebab) tauhidnya.
2. ​Luasnya keutamaan dan kebaikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
3. Kewajiban menjauhi sikap berlebih-lebihan dan meremehkan hak para nabi dan orang-orang shalih maka kita tidak boleh mengingkari keutamaan mereka tidak pula berlebih-lebihan terhadap mereka sampai memalingkan suatu ibadah kepada mereka, seperti perbuatan sebagian orang-orang bodoh dan sesat.
4. ​Bahwa aqidah tauhid menyelisihi semua agama kekafiran, baik Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, maupun Dahriyyah.
5. ​Pelaku maksiat dari kalangan orang yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Hidayah dan Keamanan bagi Mereka yang Memurnikan Tauhidnya
Allah Ta’âlâ berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-An’âm: 82]
Makna Ayat Secara Global
Allah Subhânahu mengabarkan bahwa orang-orang yang ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak menodai tauhidnya dengan kesyirikan, merekalah orang-orang yang mendapatkan keamanan dari rasa takut dan hal-hal yang tidak menyenangkan pada hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk untuk berjalan di atas jalan yang lurus di dunia.
Faedah Ayat:
1. ​Keutamaan tauhid dan buah (tauhid) yang dapat dipetik di dunia dan di akhirat.
2. Bahwa syirik adalah kezhaliman yang membatalkan keimanan kepada Allah jika berupa syirik besar, dan mengurangi
keimanan jika berupa syirik kecil.
3. ​Bahwa syirik adalah dosa yang tidak diampuni.​
4. ​Kesyirikan mengakibatkan ketakutan di dunia dan di akhirat.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Hak Allah Atas Hamba-Hambanya Adalah Mereka Mentauhidkannya
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَعَن مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ فَقَالَ لِيْ: (يَا مُعَاذُ أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: (حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً) قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ؟) قَالَ: (لَا تُبَشِّرْهُم فَيَتَّكِلُوا) أَخْرَجَاهُ فِي الصَّحِيْحَيْنِ
Dari Mu’âdz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah dibonceng oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai, lalu beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’âdz, tahukah engkau apa hak Allah terhadap para hamba dan apa hak para hamba atas Allah?’
Saya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’​
Beliau pun menjawab, ‘Hak Allah terhadap para hamba ialah mereka beribadah kepada-Nya semata dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya, sedang hak para hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya.’
Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah saya (perlu) menyampaikan kabar gembira (ini) kepada manusia?’
Beliau menjawab, ‘Janganlah engkau menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka (karena) mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri.’.”
Dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâry dan Muslim) dalam Ash-Shahîhain.
Makna Hadits Secara Global
Bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam ingin menjelaskan kewajiban dan keutamaan bertauhid bagi para hamba. Maka, beliau menyampaikan hal itu dengan bentuk pertanyaan supaya hal itu lebih kukuh menancap dalam jiwa dan lebih optimal untuk sampai pada pemahaman orang yang diajari. Ketika Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan tauhid, Mu’âdz meminta izin untuk mengabarkan hal tersebut kepada manusia agar mereka bergembira karena (kabar) tersebut, tetapi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut karena takut bila orang-orang akan bersandar kepada hal itu sehingga meremehkan amal shalih.
Faedah Hadits:
1. Sifat rendah hati Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mengendarai keledai dan membonceng seseorang di atas (keledai) tersebut. Hal ini berbeda dengan keadaan orang-orang yang menyombongkan diri.
2. ​Bolehnya berboncengan di atas kendaraan jika kendaraannya kuat.
3. ​Pengajaran dengan metode tanya jawab.
4. ​Seseorang yang ditanya, tetapi ia tidak tahu, hendaknya mengatakan, “Allah yang lebih tahu.”
5. Mengenal hak Allah yang diwajibkan kepada para hamba, yaitu agar mereka menyembah hanya kepada-Nya semata, tiada serikat bagi-Nya.
6. ​Bahwasanya barangsiapa yang tidak menjauhi kesyirikan berarti pada hakikatnya dia belum menyembah Allah, meskipun kelihatannya dia menyembah Allah.
7. ​Keutamaan tauhid dan keutamaan orang yang berpegang teguh dengan (tauhid).
8. ​Tafsir tauhid, yaitu beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan terhadap-Nya.
9. ​Disukainya memberi kabar gembira kepada setiap muslim dengan hal-hal yang menggembirakannya.
10. ​Bolehnya menyembunyikan ilmu untuk kebaikan.
11. ​Sikap beradab seorang murid kepada gurunya.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Perintah Bertauhid dan Larangan Berbuat Kesyirikan
Allah Ta’âlâ berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Dan beribadahlah kalian kepada Allah, dan janganlah menyekutukan-Nya sedikit pun. [An-Nisâ`: 36]
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan melarang mereka dari kesyirikan. Allah tidak mengkhususkan (dalam perintah beribadah hanya kepada-Nya) pada salah satu jenis ibadah, baik doa, shalat, maupun (ibadah) lain, supaya perintah tersebut dapat mencakup semua jenis ibadah. Allah juga tidak mengkhususkan (larangan-Nya) dengan salah satu jenis kesyirikan supaya dapat mencakup semua jenis kesyirikan.
Faedah Ayat:
1. ​Kewajiban mengesakan Allah dalam ibadah karena Allah telah memerintahkan demikian. Ini merupakan kewajiban yang paling ditekankan.
2. ​Pengharaman kesyirikan karena Allah telah melarangnya. Kesyirikan adalah perkara yang paling diharamkan.
3. ​Bahwa menjauhi kesyirikan merupakan syarat sah ibadah karena Allah menggandengkan perintah untuk beribadah dengan larangan terhadap kesyirikan.
4. ​Sesungguhnya kesyirikan adalah haram, baik sedikit maupun banyak, baik besar maupun kecil, karena kata ‘syai`an’ berbentuk nakirah dalam konteks larangan sehingga maknanya mencakup segala jenis dan bentuk kesyirikan.
5. ​Bahwasanya tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam peribadahan, baik dengan malaikat, para nabi, orang shalih dari para wali, maupun dengan patung, karena kata ‘syai`an bermakna umum.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Perintah untuk Bertauhid dan Berbuat Baik Kepada Orang Tua
Allah Ta’âlâ berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kalian, “Janganlah kalian beribadah, kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaknya kalian berbuat baik kepada kedua orang tua (kalian) dengan sebaik-baiknya ….” [Al-Isrâ`: 23]
Ayat ini adalah pengabaran bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah memerintahkan dan mewasiatkan melalui lisan-lisan para rasul-Nya agar hanya Dia semata yang disembah, tidak ada yang disembah selain-Nya. Begitu juga wasiat agar seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, melalui ucapan atau perbuatan, serta tidak berbuat jelek kepada kedua (orang tua)nya karena kedua (orang tua)nyalah yang telah memelihara dan mendidiknya ketika masih kecil dan lemah sampai dia menjadi kuat dan dewasa.
Faedah Ayat:
1. ​Bahwasanya tauhid itu adalah kewajiban yang pertama kali Allah perintahkan, juga merupakan kewajiban yang pertama atas hamba.
2. ​Kandungan kalimat Lâ Ilâha Illallâh berupa peniadaan dan penetapan, yang padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tauhid tidak akan tegak, kecuali dibangun di atas nafi dan itsbat (meniadakan peribadahan kepada selain Allah dan menetapkan ibadah hanya untuk Allah saja) sebagaimana (penjelasan) yang telah berlalu.
3. ​Besarnya hak kedua orang tua. Allah mengikutkan hak kedua (orang tua) tersebut kepada hak-Nya, dan hak tersebut ada pada tingkatan kedua.
4. ​Kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua dengan segala jenis kebaikan, sebab Allah tidak mengkhususkan satu jenis kebaikan tanpa yang lainnya.
5. ​Keharaman durhaka terhadap kedua orang tua.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Dakwah Para Rasul Adalah Dakwah Tauhid
Allah Ta’âlâ berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (semata) dan jauhilah thaghut.’.” [An-Nahl: 36]
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah mengabarkan bahwa Dia telah mengutus seorang rasul pada setiap umat dan kurun manusia, yang mengajak kepada manusia untuk beribadah kepadaAllah semata dan meninggalkan peribadahan kepada selain-Nya. Allah terus mengutus para rasul-Nya kepada manusia sejak terjadinya kesyirikan pada bani Adam pada zaman Nabi Nuh hingga Allah menutup para nabi dengan Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Faedah Ayat
1. Sesungguhnya hikmah pengutusan para rasul adalah untuk berdakwah menyeru kepada tauhid dan melarang dari kesyirikan.
2. Sesungguhnya agama para nabi adalah satu, yaitu memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan, meskipun syariat mereka berbeda-beda.
3. ​Bahwa risalah (tauhid) ini berlaku untuk setiap umat dan hujjah telah tegak bagi seluruh umat manusia.
4. ​Ayat di atas menerangkan keagungan perkara tauhid dan bahwa tauhid wajib atas seluruh umat.
5. ​Di dalam ayat ini, terdapat kandungan kalimat Lâ Ilâha Illallâh berupa penafian (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak dapat ditegakkan, kecuali dengan keduanya (nafi dan itsbat). Adapun nafi saja, itu bukanlah penauhidan. Demikian pula, itsbat saja bukanlah penauhidan.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Hikmah Penciptaan Jin dan Manusia
Allah Ta’âlâ berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
 “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]
Allah Ta’âlâ mengabarkan bahwa Allah tidaklah menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Nya.Maka ayat ini adalah penjelasan tentang hikmah penciptaan manusia dan jin. Allah tidak menginginkan apapun dari mereka sebagaimana keinginan seorang tuan dari budaknya, berupa bantuan rezeki dan makanan. Yang Allah inginkan justru kemaslahatan buat mereka.
Faedah Ayat:
1.Kewajiban mengesakan ibadah kepada Allah bagi seluruh makhluk: jin dan manusia.
2.Penjelasan tentang hikmah penciptaan jin dan manusia.
3.Bahwa Sang Penciptalah yang berhak mendapatkan peribadahan, bukan selain-Nya yang tidak menciptakan. Ini merupakan bantahan terhadap penyembah berhala dan selainnya.
4.Penjelasan bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak membutuhkan makhluk-Nya dan (penjelasan tentang) butuhnya para makhluk kepada Allah, sebab Dia-lah Yang mencipta, sedang mereka adalah yang diciptakan.
5.Penetapan adanya hikmah dalam setiap perbuatan-Nya Subhânahu wa Ta’ala.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Tanya.
apa bila ada seorang meminjam kendaraan.apakah aada kewajiban menggantikan bahan bakarnya setelah dia gunakan.dan lantas apabila bahan bakarnya di lebihkan.apakah di perkenankan dan bagai mana hukumnya 
Jawab:
memenjam dari bentuk akad kedermawanan.Asalnya tidak ada imbalan ataupun bayaran di belakang peminjam.Namun telah jadi kebiasaan bagi yg meminjam untuk mengisibahan bakar tersebut.
karena itu.termasuk perbuatan baik.seorang membalasan kebaikan dengan kebaikan pula dan menghargai budi baik orang lain.kalau dia mengisi dengan lebihkan.tentu hal tersebut lebih baik dan lebih terpuji.Wallahu A'lam.
Semoga bermenfaat amin.
DEWA PUTRAGABAR







setalah kita tau perjalanan sangat sulit untuk kita tempuh mungkin perjalanan akan tidak di teruskan.tapi karena kesabara maka kita meneruskan perjalan apapun rintangannya.dengan kesabaran maka allah selalu memberi ke mudahan.amin.
Bookmark and Share
Allah Tabâraka wa Ta’âlâberfirman,
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum adzab datang kepada kalian kemudian kalian tidak dapat ditolong (lagi).”[Az-Zumar: 54]
Ketika banjir telah menenggelamkan harta benda, menghanyutkan keamanan dan ketenangan, mencentangperenangkan kegembiraan, serta banyak berakhir dengan kepiluan, ratap tangis, duka, dan nestapa.
Sebagai manusia, sudah merupakan tabi’atnya untuk menyelamatkan diri, harta, anak-anak, dan keluarganya. Berbagai langkah mencari keselamatan adalah hal yang lumrah. Semoga Allah memberi keselamatan dan ganti yang baik bagi mereka yang teruji oleh banjir tersebut. Amin Ya Mujibas Sâ`ilîn.
Namun sangat disayangkan, banyak dari mereka yang mencari keselamatan tidak mengingat bahwa pokok dari jalan keselamatan adalah yang tertera dalam ayat di atas.
Kembali kepada Allah dengan bertaubat dan beristighfar, serta melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya adalah jalan keselamatan yang telah menyelamatkan para nabi dan pengikutnya. Demikian pula berserah diri kepada-Nya dengan mengikhlaskan ibadah kepada Allah, menjauhi kesyirikan, dan bertawakkal kepada Allah, serta menerima segala ketentuan dan takdir-Nya adalah gerbang keselamatan dari musibah dan petaka.
Renungilah akhir ayat, “kemudian kalian tidak dapat ditolong (lagi).” Agar kita bersegera menghisab diri, menata jiwa, serta mensucikannya dari dosa dan maksiat. Bukan menyalahkan orang lain dan mencari kambing hitam. Bukan pula dengan mendatangi tempat-tempat yang dikeramatkan, melempar sesajian dan bergantung kepada selain Allah. Hal-hal yang seperti ini hanyalah menambah musibah dan petaka.
Bersegeralah kepada Allah sebelum kesempatan berlalu.
Semoga Allah melimpahkan kebaikan dan rahmat-Nya untuk segenap kaum muslimin di berbagai belahan negeri.

Mutiara Salaf

1,559 klik || 

Bookmark and Share
Hakikat Takwa
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumâ berkata,
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ حَقِيقَةَ التَّقْوَى حَتَّى يَدَعَ مَا حَاكَ فِي الصَّدْرِ
“Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat takwa hingga dia meninggalkan apa yang berseteru dalam hatinya.” [Disebutkan oleh Al-Bukhary dalam Shahihnya secara Mu’allaq]

Dari Bagian Keimanan
Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu berkata,
الصَّبْرُ نِصْفُ الإِيمَانِ، وَالْيَقِينُ الإِيمَانُ كُلُّهُ
“Sabar adalah seperdua keimanan, dan Yakin adalah keimanan seluruhnya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikhnya sebagaimana dalam Taghlîq At-Ta’lîq, dan Al-Hakim]

Lisanku Ini yang Telah Menyeretku kepada Berbagai Prahara
Suatu hari, Umar bin Al-Khaththab radhiyallâhu ‘anhu masuk menjumpai Abu Bakrradhiyallâhu ‘anhu, dan Abu Bakr sedang menarik lisannya. Umar berkata, “Ada apa? Semoga Allah mengampunimu.” Abu Bakr menjawab,
إِنَّ هَذَا أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ
“Sesungguhnya (lisan) ini telah menyeretku ke berbagai prahara.” [Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa` dengan riwayat Yahya bin Yahya]

Rasa Malu di Kalangan Shahabat
Abu Bakr Ash-Shiqqîq radhiyallâhu ‘anhu berkhutbah kepada manusia,
يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَظَلُّ حِينَ أَذْهَبُ إِلَى الْغَائِطِ فِي الْفَضَاءِ مُتَقَنِّعًا بِثَوْبِي اسْتِحْيَاءً مِنْ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai kaum muslimin sekalian, malulah kalian kepada Allah. Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya pergi membuat hajat di tanah lapang (tempat membuang hajat) dalam keadaan berkudung baju karena malu kepada Rabbku ‘Azza wa Jalla.” [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd]

Kalimat-kalimat Indah di awal Pemerintahan Abu Bakr
Setelah terangkat menjadi Khalifah, Abu Bakr Ash-Shiqqîq radhiyallahu ‘anhu berkhutbah,
“Amma Ba’du, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya telah dijadikan pemimpin terhadap kalian, sedang saya bukan orang yang terbaik di antara kalian. Apabila saya berbuat baik, bantulah saya. Apabila saya berbuat jelek, luruskanlah saya. Kejujuran adalah amanah dan dusta adalah khiyanat. Orang yang lemah di tengah kalian adalah kuat di sisiku hingga saya memberikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat di tengah kalian adalah lemah di sisiku hingga saya mengambil hak darinya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan memukul mereka dengan kehinaan. Tidaklah suatu kekejian tersebar di suatu kaum kecuali Allah akan meratakan mereka dengan bala. Taatilah saya selama saya menaati Allah dan Rasul-Nya. Apabila saya bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya tidak ketaatan untukku terhadap kalian…” [Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dalam As-Sîrah]

Nasihat Imam Asy-Syafi’iy kepada Muridnya, Imam Al-Muzany
Imam Al-Muzany bercerita:
“Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang beliau wafat, lalu kubertanya, “Bagaimana keadaanmu pada pagi ini, wahai Ustadzku?”
Beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan perjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tahu: apakah diriku berjalan ke surga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan, atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”
Aku berkata, “Nasihatilah aku.”
Asy-Syafi’iy berpesan kepadaku, “Bertakwalah kepada Allah, permisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu, dan janganlah lupa bahwa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah segalah hal yang Dia haramkan, laksanakanlah segala perkara yang Dia wajibkan, dan hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Janganlah sekali-kali engkau menganggap kecil nikmat Allah kepadamu -walaupun nikmat itu sedikit- dan balaslah dengan bersyukur. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai dzikir, dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang menzhalimimu, sambunglah (silaturrahmi dari)orang yang memutus silaturahmi terhadapmu, berbuat baiklah kepada siapapun yang berbuat jelek kepadamu, bersabarlah terhadap segala musibah, dan berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketakwaan.”
Aku berkata, “Tambahlah (nasihatmu) kepadaku.”
Beliau melanjutkan, “Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata percaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harapan adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai pakaianmu, shadaqah sebagai pelindungmu, dan zakat sebagai bentengmu. Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tenang sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu, dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur`an sebagai juru bicaramu dengan kejelasan, serta jadikanlah Allah sebagai Penyejukmu. Barangsiapa yang bersifat seperti ini, surga adalah tempat tinggalnya.”
Kemudian, Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersya’ir,
Kepada-Mu -wahai Ilah segenap makhluk, wahai Pemilik anugerah dan kebaikan-
kuangkat harapanku, walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku
kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku
Kurasa dosaku teramatlah besar, tetapi tatkala dosa-dosa itu
kubandingkan dengan maaf-Mu -wahai Rabb-ku-, ternyata maaf-Mu lebihlah besar
Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa, dan terus menerus
Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan
Andaikata bukan karena-Mu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh Iblis
bagaimana tidak, sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu,Adam
Kalaulah Engkau memaafkan aku, Engkau telah memaafkan
seorang yang congkak, zhalim lagi sewenang-wenang yang masih terus berbuat dosa
Andaikata Engkau menyiksaku, tidaklah aku berputus asa,
walaupun diriku telah engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku
Dosaku sangatlah besar, dahulu dan sekarang,
namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar
[Tarikh Ibnu Asakir Juz 51 hal. 430-431]

Nasehat untuk Yang Meremehkan Dosa
Bilâl bin Sa’d rahimahullâh berkata,
لَا تَنْظُرْ إِلَى صِغَرِ الْخَطِيئَةِ، وَلَكِنِ انْظُرْ مَنْ عَصَيْتَ
“Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, tetapi lihatlah terhadap siapa engkau bermaksiat.” [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd]

Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Dari Yahya bin Abi Katsîr rahimahullah, beliau berkata,
لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Ilmu itu tidaklah didapatkan dengan jasad yang santai.” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Sebab yang Menurunkan dan Mengangkat Musibah
Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ وَلَا رُفِعَ بَلَاءٌ إِلَّا بِتَوْبَةٍ
“Tidaklah petaka turun, kecuali karena dosa, dan tidaklah petaka diangkat, kecuali dengan taubat.” [Ad-Dâ` wa Ad-Dawâ` hal. 118]

Musibah pada Kendaraan dan Istri Karena Maksiat
Berkata Al-Fudhail bin ‘Iyâdh,
إِنِّي لأَعْصِي اللَّهَ فَأَعْرِفُ ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي وَجَارِيَتِي
“Sesunggunya aku bermaksiat kepada Allah, hal tersebut aku ketahui (pengaruh jeleknya) dari akhlak kendaraan dan istriku.” [Shaidul Khâthir karya Ibnul Jauzi danAl-Jawâb Al-Kâfi karya Ibnul Qayyim]

Allah Menyiksamu Karena Menyalahi Sunnah
Imam Para Tabi’in, Sa’id bin Musayyab rahimahullah melihat seorang melakukan shalat sunnah dua raka’at setelah shalat subuh, kemudian Sa’id melarangnya. Orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah menyiksaku karena suatu shalat?!” Sa’id menjawab,
لَا وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ
“Tidak, tapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah.” [Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ad-Darimy dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwâ` 2/236]

Di Antara Petaka Dosa
Ibnu Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,
إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ
“Sesungguhnya pada kebaikan terdapat sinar pada wajah, cahaya dalam hati, kelapangan dalam rezeki, kekuatan pada badan, dan kecintaan pada hati makhluk. Sesungguhnya pada kejelekan terdapat kegelapan pada wajah, gulita pada alam kubur dan hati, kelemahan pada badan, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian pada hati makhluk.” [Al-Jawâb Al-Kâfy hal. 62]

Takwa adalah Jalan Keselamatan dari Fitnah
Dalam menghadapi fitnah, Thalq bin Habib menasihatkan agar berlindung dengan ketakwaan. Ketika ditanya, “Apa takwa itu?” Beliau menjawab,
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكُ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
“Takwa adalah beramal ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah, mengharap rahmat Allah, dan meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah, takut akan siksaan Allah.” (Siyâr A’lam An-Nubalâ` dan selainnya)

Keberkahan Pada Ucapan Ulama Salaf
Ditanyakan kepada Hamdûn bin Ahmad Al-Qashshâr, “Mengapa ucapan para salaf lebih bermanfaat dari ucapan kita?”
Hamdûn menjawab, “Karena mereka berbicara untuk keagungan Islam, keselamatan jiwa-jiwa (manusia), dan (meraih) ridha Ar-Rahman. Sedang kita berbicara untuk kemulian diri sendiri, mencari dunia, dan penerimaan manusia.” [Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Hilyah dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân]

Panah-Panah Kematian
Ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid memintah nasihat ringkas, Abul ‘Atâhiyah menasihatinya dalam beberapa untaian syair,
لَا تَأْمَنِ الْمَوْتَ فِيْ طَرْفٍ وَلَا نَفَسٍ  وَلَوْ تَمَنَّعْتَ بِالْحِجَابِ وَالْحَرَسِ
وَاعْلَمْ بَأَنَّ سِهَامَ الْمَوْتِ قَاصِدَةٌ  لِكُلِّ مَدَرَّعٍ مِنَّا وَمُتَرَّسِ
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا  إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِيْ عَلَى الْيَبَسِ
“Janganlah merasa aman dari kematian dalam sekejam maupun senafas
walaupun engkau berlindung dengan tirai dan para pengawal.
Ketahuilah bahwa panah-panah kematian selalu membidik
setiap dari kita, yang berbaju besi maupun yang berperisai.
Engkau menghendaki keselamatan, sedang engkau tidak menempuh jalan-jalannya,
sesungguhnya perahu tidak akan berjalan di atas daratan kering.”
[Raudhatul ‘Uqalâ` karya Ibnu Hibban hal. 285]

Sunnah Allah Pada Suatu Kebenaran
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَالْحَقُّ مَنْصُوْرٌ وَمُمْتَحَنٌ فَلَا
تَعْجَبْ فَهَذِيْ سُنَّةُ الرَّحْمَانِ
“Kebenaran itu akan selalu menang dan mendapat ujian, maka janganlah
heran, sebab ini adalah sunnah Ar-Rahman (sunnatullah).”
[Al-Kâfiyah Asy-Syâfiyah 1/52 (Syarah Syaikh Shalih Al-Fauzan)]

Cara Mengenal Pendusta
Harun bin Sufyân Al-Mustamly bertanya kepada Imam Ahmad, “Bagaimana cara engkau mengetahui para pendusta?” Imam Ahmad menjawab, “Dengan (melihat) janji-janji mereka.”
[Dirwayatkan oleh Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil dan As-Sam’âny dalam Adabul Imlâ`]

Juallah Dia, Walaupun Hanya dengan Harga Segenggam Debu
Muhammad bin Abdillah Al-Baghdâdy bersenandung,
إِذَا مَا الْمَرْءُ أَخْطَأَهُ ثَلَاثٌ  فَبِعْهُ وَلَوْ بِكَفٍّ مِنْ رَمَادِ
سَلَامَةُ صَدْرِهِ وَالصِّدْقُ مِنْهُ  وَكِتْمَانُ السَّرَائِرِ فِي الْفُؤَادِ
“Apabila seorang kehilangan tiga (sifat),
Juallah dia, walaupun hanya dengan harga segenggam debu.
(Tiga sifat itu adalah) keselamatan hati, kejujuran jiwa,
dan menyembunyikan rahasia (orang lain) di dalam hati.”
[Raudhatul ‘Uqalâ` karya Ibnu Hibban hal. 53]

Mengukur Keikhlasan
Muhammad bin Abdawaih berkata, Saya mendengar Al-Fudhail bin ‘Iyâdhrahimahullah berkata,
تَرْكُ الْعَمَلِ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللهُ عَنْهُمَا
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya`, dan beramal karena manusia adalah kesyirikan. Ikhlas adalah Allah menyelamatkan engkau dari dua perkara tersebut.”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Asâkir, sebagaimana dalam kitab Al-Âtsâr Al-Wâridah ‘Anil Aimmah fi Abwâbil I’tiqâd 1/159]

Hakikat Kehidupan Hamba
Al-Marrudzy berkata, “Suatu hari aku masuk menjumpai (Imam) Ahmad, lalu saya bertanya, ‘Bagaimana engkau di pagi ini?’ Beliau menjawab, ‘Aku masuk di waktu pagi dalam keadaan Rabbku menuntut (diriku) untuk menunaikan kewajiban, Nabi-Nya menuntutnya untuk menunaikan sunnah, dua malaikat menuntutnya untuk memperbaiki amalan, jiwanya menuntut (mengikuti) hawa nafsu, Iblis menuntutnya untuk kekejian, Malakul Maut menuntut nyawanya, dan keluarganya menuntut nafkah.’.”
[Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’lâ 1/570, dengan perantara kitab Kasykûl karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Aqil]

Lentera Wahyu

1,154 klik || 

Bookmark and Share
Tentang Rasa Malu
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya, di antara pembicaraan kenabian terdahulu yang ditangkap oleh manusia adalah, ‘Apabila tidak malu, berbuatlah engkau sesukamu.’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dari Abu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu]

Sumber Akhlak yang Mulia
Dasar pijakan untuk akhlak mulia adalah firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Ambillah rasa maaf, perintahlah dengan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang jahil.” [Al-A’râf: 199]

Wasiat Yang Agung
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ، وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
“Apabila berdiri pada shalatmu, kerjakanlah shalat sebagaimana shalat perpisahan, janganlah engkau berbicara dengan pembicaraan yang engkau akan mintakan maaf darinya, serta kumpulkanlah keputus-asaan pada segala yang berada di tangan manusia.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majâh dari Abu Ayyûbradhiyallâhu ‘anhuAsh-Shahîhah no. 401]

Hakikat Kehidupan
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jibrîl ‘alaihissalâm datang kepada seraya berkata,
يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ فَإِنَّكَ مَفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ
‘Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu karena sungguh engkau akan meninggal, cintailah siapapun yang engkau sukai karena sungguh engkau akan berpisah dengannya, beramallah sesukamu karena engkau pasti mendapat imbalannya.’.”[Dalam Ash-Shahîhah no. 831 dari beberapa orang shahabat.]

Perhatikan Niatmu
Ibnul Mubarak rahimahullâh berkata,
رُبَّ عملٍ صغيرٍ تعظِّمهُ النيَّةُ، وربَّ عمل كبيرٍ تُصَغِّره النيَّةُ
“Kadang sebuah amalan kecil diperbesar oleh niat, dan kadang sebuah amalan besar diperkecil oleh niat.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya sebagaimana dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam]

Demikianlah Perjalanan ke Negeri Akhirat
Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga diiitari dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka diitari dengan berbagai syahwat.”[Diriwayatkan oleh Muslim]

Dari Mana datangnya Musibah?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (kesalahan-kesalahan kalian).” [Asy-Syûrâ: 30]

Di antara Sebab Musibah dan Petaka
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kepada jalan yang benar).” [Ar-Rûm: 41]

Bahaya Mencari Aib Orang Lain
Dari Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah bersabda shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا المُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ المُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang beriman dengan lisannya, sedangkan keimanan belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin juga janganlah mencela mereka, serta janganlah kalian mencari-cari aurat mereka. Sesungguhnya, barangsiapa yang mencari-cari aurat saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Barangsiapa yang auratnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mempermalukannya, walaupun dia berada di tengah rumahnya.” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalamShahîhul Jamî’]

Hukum Menyentuh Perempuan Bukan Mahram
Dari Ma’qil bin Yasâr radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,
لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata seorang lelaki kepalanya ditusuk dengan jarum besi, hal itu lebik baik daripada dia menyentuh perempuan yang tidak halal baginya (baca: bukan mahramnya).”
[Diriwayatkan oleh Ar-Rûyâny, Ath-Thabarâny dan Al-Baihaqy. Dikuatkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahîhah no. 226]

Yang Tidak Pernah Kenyang
Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْهُومَانِ لَا يَشْبَعَانِ: مَنْهُومٌ فِي عِلْمٍ لَا يَشْبَعُ، وَمَنْهُومٌ فِي دُنْيَا لَا يَشْبَعُ
“Dua ketamakan yang tidak pernah kenyang: ketamakan terhadap ilmu tidak pernah kenyang, dan ketamakan terhadap dunia tidak pernah kenyang.”
[Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany dalamShahîh Al-Jamî’]

Peringatan untuk Penyebar Berita
Dari Bilâl bin Harits Al-Muzany radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللَّهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian berbicara dengan sebuah kalimat berupa keridhaan Allah -tidak pernah dia menyangka akan tersebar sedemikian rupa- maka, lantaran (kalimat itu), Allah menulis keridhaan baginya hingga hari tatkala dia menghadap kepada-Nya.Dan sungguh seorang lelaki di antara kalian berbicara dengan sebuah kalimat berupa kemurkaan Allah -tidak pernah dia menyangka akan tersebar sedemikian rupa- maka, lantaran (kalimat itu), Allah menulis kemurkaan baginya hingga hari saat dia menghadap kepada-Nya.”
[Diriwayatkan oleh Imam Malik, Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan selainnya.Ash-Shahîhah no. 888]

Kalimat-Kalimat Agung
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang mau menerima kalimat-kalimat ini agar diamalkan dan diajarkan kepada siapa saja yang akan mengamalkannya?’ Abu Hurairah menjawab, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Kemudian beliau memegang kedua tanganku seraya bertutur,
اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
‘Takutlah engkau kepada segala sesuatu yang diharamkan, niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah. Ridhailah segala sesuatu yang Allah bagi kepadamu, engkau pasti menjadi manusia yang paling cukup.Berbuatbaiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang mukmin. Cintailah untuk manusia, segala sesuatu yang engkau cintai untuk dirimu, engkau pasti menjadi seorang muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa karena banyak tertawa akan mematikan hati.’.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, dan selainnya.Baca Ash-Shahîhah no. 930]

Hakikat Perbekalan
Dari Al-Barâ` bin ‘Âzib radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau bertutur, “Kami pernah bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada sebuah jenazah, kemudian beliau duduk di pinggir kubur, lalu menangis hingga membasahi tanah. Beliau bersabda,
يَا إِخْوَانِى لِمِثْلِ هَذَا فَأَعِدُّوا
‘Wahai saudara-saudaraku, untuk (keadaan) seperti ini hendaknya kalian bersiap.’.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan selainnya.Baca Ash-Shahîhah no. 1751]

Lima Perkara Sebelum datang Lima Perkara
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada seorang lelaki sembari menasihati lelaki itu,
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan segera lima perkara sebelum (datang) lima perkara: waktu mudamu sebelum (datang) waktu tuamu, kesehatanmu sebelum (datang) sakitmu, kekayaanmu sebelum (datang) kefakiranmu, waktu luangmu sebelum (datang) waktu sibukmu, dan kehidupanmu sebelum (datang) kematianmu.” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany rahimahullâh]

Jalan Keselamatan
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhany radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan keselamatan itu?”
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
“Jagalah lisan engkau, hendaknya engkau merasa lapang dengan rumahmu, dan tangisilah kesalahanmu.” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya.Shahîh At-Targhîb dan Ash-Shahîhah]

Kedahsyatan Api Neraka
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Jibril‘alaihissalâm,
مَا لِيْ لَا أَرَى مِيْكَائِيْلَ ضَاحِكًا قَطُّ قَالَ مَا ضَحِكَ مِيْكَائِيْلُ مُنْذُ خُلِقَتِ النَّارُ
“Mengapa saya sama sekali tidak pernah melihat Mika`il tertawa? (JIbril) menjawab, ‘Mika`il tidak pernah tertawa semenjak neraka diciptakan.’.”[Dihasankan oleh Al-Albany dengan seluruh jalurnya dalam Ash-Shahîhah dan Shahîh At-Targhîb]

Mata yang Terjaga dari Api Neraka
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا تَرَى أَعْيُنُهُمُ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ حَرَسَتْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَعَيْنٌ غَضَّتْ عَنْ مَحَارِمِ اللهِ
“Ada tiga (orang) yang mata-mata mereka tidak akan melihat nerakan pada hari kiamat: mata yang menangis karena takut kepada Allah, mata yang berjaga-jaga di jalan Allah, dan mata yang menundukkan pandangan dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah.” [Dishahihkan oleh Al-Albany rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 2673 dari sejumlah shahabat]

Tentang Mendengar Pembicaraan Orang Lain
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ، وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ، صُبَّ فِي أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mendengar pembicaraan suatu kaum, sedang kaum itu tidak senang kepadanya atau mereka lari darinya, akan dituangkan timah putih pada telinganya pada hari kiamat.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu ‘Abbâsradhiyallâhu ‘anhumâ]

Tentang ‘Insya Allah’
Biasakanlah mengucapkan, ‘Insya Allah,’ atas sesuatu hal yang akan datang.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (23) إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi,’ kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah’.” [Al-Kahf: 23-24]

Dua Nikmat yang Terlalaikan
Dari Ibnu Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ، وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang banyak manusia merugi di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhary]

Kaidah Dalam Beraktivitas
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
Sesungguhnya Allah mencintai apabila seseorang di antara kalian melakukan amalan, dia yang melakukannya secara mutqin (sempurna/lengkap).” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan selainnya. Silsilah Ahâdist Ash-Shahîhah no. 1113]

Tanda Kebaikan Allah kepada Hamba
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan memahamkannya dalam agama.”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân radhiyallâhu ‘anhu]

Yang Paling Mulia di Sisi Allah
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” [Al-Hujurât: 13]

Keadaan Kebanyakan Manusia
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” [Ar-Rûm: 7]
Ayat di atas adalah celaan bagi orang-orang yang mengenal berbagai jalan untuk mendapatkan dunia, namun lalai dari akhiratnya.

Hakikat Yang Terlupakan
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Segala sesuatu yang berada di sisi kalian akan sirna, dan segala sesuatu yang berada di sisi Allah akan kekal.” [An-Nahl: 96]

Akhlah yang Baik adalah Sumber Kebaikan
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“(Perbuatan) kebajikan (berasal) dari akhlak yang baik, dan dosa-dosa adalah segala sesuatu yang menyesakkan dadamu dan engkau enggan bila manusia mengetahuinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)