Sunday 28 July 2013

Sebab-Sebab Pengampunan Bag. 2

Diantara sebab-sebab pengampunan (lanjutan):
Kesebelas: Banyak Berdzikir kepada AllahSubhânahû Wa Ta’âlâ
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang berdzikir.” [Hûd: 114]

Kedua Belas: Bertaubat
Allah Jalla Jalâluhû  berfirman,
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Apabila orang-orang, yang beriman kepada ayat-ayat Kami, datang kepadamu, katakanlah, ‘Salâmun ‘alaikum ‘keselamatan atas kalian’.’ Rabb kalian telah menetapkan kasih sayang atas diri-Nya, (yaitu) bahwa barangsiapa di antara kalian yang berbuat kejahatan lantaran kejahilan, kemudian bertaubat setelah mengerjakan hal itu dan mengadakan perbaikan, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-An’âm: 54]

Ketiga Belas: Menjaga Diri di Atas Jalan Petunjuk
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di atas jalan petunjuk.” [Thâhâ: 82]

Keempat Belas: Memurnikan Ibadah Hanya untuk Allah ‘Azza Wa Jalla, Tiada Sekutu bagi-Nya
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya serta tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka (para rasul), kelak Allah akan memberi pahala kepada mereka. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisâ`: 152]
Allah juga menjelaskan ucapan sekelompok jin, yang telah beriman kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, dan berimanlah kepada-Nya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan melepaskan kalian dari adzab yang pedih.” [Al-Ahqâf: 31]
Makna keimanan dalam dua ayat di atas adalah pemurnian ibadah hanya kepada Allah tanpa menodai ibadah itu dengan kesyirikan.

Kelima Belas: Mengikuti dan Mencontoh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah saya. Niscaya Allah mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Âli ‘Imrân: 31]

Keenam Belas: Beradab kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Beliau
Allah Jalla Jalâluhû berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara mereka di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang hati mereka telah Allah uji untuk bertakwa. Bagi mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [Al-Hujurât: 3]

Ketujuh Belas: Bertakwa kepada Allah dengan Cara Menjalankan Segala Perintah dan Meninggalkan Segala Larangan-Nya
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberi furqan kepada kalian, menjauhkan kalian dari kesalahan-kesalahan kalian, dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah Maha mempunyai karunia yang besar.” [Al-Anfâl: 29]

Kedelapan Belas: Berucap yang Lurus dan Baik
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang lurus nan baik. Niscaya Allah memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”[Al-Ahzâb: 70-71]

Kesembilan Belas: Takut kepada Allah ‘Azza Wa Jalla
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Yang Maha Pemurah, walaupun dia tidak melihat-Nya. Maka, berilah kabar gembira kepada mereka dengan ampunan dan pahala yang mulia.” [Yâsîn: 11]
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman pula,
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, walaupun dia tidak melihat-Nya, bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Al-Mulk: 12]

Kedua Puluh: Bertawakkal kepada Allah Jalla Jalâluhû
Allah Jalla Jalâluhû berfirman,
نَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang, bila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka, dan apabila ayat-ayat-Nya dibacakan, bertambahlah iman mereka (karena hal itu), dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal. (Yaitu), orang-orang yang mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh ketinggian beberapa derajat, di sisi Rabb mereka, serta ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.” [Al-Anfâl: 2-4]
Ayat-ayat di atas menyebut bahwa berdzikir, rasa takut, bertawakkal, mendirikan shalat, dan berinfak adalah sebab pengampunan dosa.

Kedua Puluh Satu: Bersyukur atas Segala Nikmat Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tak dapat membilangnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nahl: 18]

Demikian beberapa sebab pokok dari berbagai sebab pengampunan. Selain itu, banyak amalan yang merupakan sebab pengampunan yang belum sempat dijelaskan di sini, yakni menyempurnakan wudhu, mengerjakan shalat fardhu, shalat Rawatib, dan shalat Lail, berpuasa sunnah, berjihad, berakhlak mulia, berdzikir saat mendengar adzan, mengamini bacaan Al-Fatihah, menunaikan dzikir setelah shalat, berzakat, mengerjakan haji mabrur, membangun masjid, mengajarkan kebaikan kepada manusia, dan sebagainya.[1]

Sebab-Sebab Pengampunan Dosa Bag.1


Di antara hal terpenting bagi seorang hamba guna menggapai pengampunan AllahSubhânahû Wa Ta’âlâ  adalah mengetahui berbagai amalan dan tuntunan yang menjadi sebab gugurnya dosa dan datangnya pengampunan.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, serta laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar untuk mereka.”[Al-Ahzâb: 35]
Allah ‘Azza Wa Jalla  juga berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di atas jalan petunjuk.” [Thâhâ: 82]
Dua ayat di atas menjelaskan tiga belas amalan yang, siapa saja yang mengerjakan dan bersifat dengan amalan tersebut, dijanjikan pengampunan untuknya.

Pertama: Keislaman
Berislam adalah berserah diri kepada Allah dengan cara menunaikan ibadah hanya untuk-Nya, mengikatkan diri melalui ketaatan kepada-Nya, serta berlepas diri terhadap segala jenis kesyirikan dan pelakunya.
Barangsiapa yang menegakkan makna keislaman ini, dalam bentuk melaksanakan rukun-rukun Islam dan berbagai hal yang menyempurnakan rukun-rukun tersebut, sungguh pengampunan dan pahala yang besar telah terjamin untuknya sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al-Ahzâb tadi.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman pula,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang perkataannya lebih baik daripada orang yang menyeru kepada Allah, beramal shalih, dan berkata, ‘Sesungguhnya saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berserah diri.’?” [Fushshilat: 33]
Pedihnya siksaan pada hari kiamat menjadikan orang-orang kafir berangan-angan untuk menjadi seorang muslim yang aman terhadap siksaan.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
“Orang-orang kafir itu (nanti di akhirat) seringkali ingin agar kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” [Al-Hijr: 2]

Kedua dan Ketiga: Keimanan dan Amalan Shalih
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Maka orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” [Al-Hajj: 50]

KeempatQunut (Tenang dalam Ketaatan)
Allah ‘Azza Wa Jalla memuji mereka, orang-orang yang qunut, dalam firman-Nya,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu, wahai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharap rahmat Rabb-nya? Katakanlah, ‘Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [Az-Zumar: 9]
Istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang memiliki sifat ini telah diberi jaminan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla berupa pahala berdasarkan firman-Nya,
وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
“Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri nabi) yang qunut kepada Allah dan Rasul-Nya dan beramal shalih, niscaya Kami memberi pahala dua kali lipat kepadanya dan Kami menyediakan rezeki yang mulia baginya.” [Al-Ahzâb: 31]

Kelima: Kejujuran
Kejujuran adalah benar dalam ucapan dan perbuatan, bersungguh-sungguh dalam hal menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Dalam kisah tentang tiga orang shahabat yang tidak menghadiri perang Tabuk, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ menerima taubat mereka lantaran kejujuran mereka. Kemudian, kejujuran mereka ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman, yang hidup pada masa setelah mereka, sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” [At-Taubah: 119]

Keenam: Kesabaran
Kesabaran, dengan berbagai jenisnya –sabar dalam hal menjalankan ketaatan, sabar dalam hal meninggalkan larangan, dan sabar dalam hal menerima ujian-, adalah salah satu sebab penggugur dosa.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
“Kecuali orang-orang yang bersabar dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” [Hûd: 11]

Ketujuh: Khusyu’
Khusyu’ adalah ketenangan, tuma’ninah, dan hal merendahkan diri yang muncul karena adanya rasa takut kepada Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ dan karena merasa diawasi oleh Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ.
Ini adalah sifat para nabi, yang senantiasa mendapat pengampunan.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiyâ`: 90]

Kedelapan: Bersedekah
Allah menyatakan bahwa diri-Nya Maha Pengampun kepada orang-orang yang bersedekah melalui firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka secara diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugikan. (Hal ini) agar (Allah) menyempurnakan pahala mereka kepada mereka dan menambah karunia-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fâthir: 29-30]
Selain itu, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Jika kamu meminjamkan pinjaman yang baik kepada Allah, niscaya Allah melipatgandakan balasan hal itu kepada kalian dan mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” [At-Taghâbûn: 17]

Kesembilan: Berpuasa
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya dosa­-dosanya yang telah lalu.” [1]

Kesepuluh: Menjaga Kemaluan terhadap Hal yang Diharamkan
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang memberi jaminan bagiku untuk menjaga sesuatu yang berada di antara kedua jenggotnya dan di antara kedua pahanya, saya memberi jaminan surga untuknya.” [2]
Bersambung…

Tentang Bersumpah dengan Nama Allah


Pertanyaan:
Ustadz, bagaimana hukumnya seseorang yang bersumpah dengan nama Allah dan berulangkali diucapkan, untuk meyakinkan pada seseorang agar kedustaannya dipercayai bahwa ucapannya benar. Maksudnya bahwa perbuatannya yang dilatari dengan dusta, bisa diyakini orang yang mendengar. Sehingga orang tersebut percaya.

Jawaban:
Sumpah dengan nama Allah untuk suatu kedustaan adalah dosa yang sangat besar. Siapa yang melakukannya hendaknya dia bertaubat dengan taubat nashuha (sebenar-benar taubat). Tidak ada kewajiban kaffarah sumpah terhadapnya. Wallahu A’lam.

Siapa Bilang Tidak ada Larangan Memberi Salam Natal?


Tatkala membaca tulisan (termuat pada Kamis, 20 Desember 2012 | 14:47 WIB) sebagai berikut,
JAKARTA, KOMPAS.com — Cendekiawan Muslim Sholahuddin Wahid mengatakan, umat Islam sah-sah saja mengucapkan Natal kepada umat Kristiani. Pasalnya, tidak ada dasar yang melarang Muslim mengucapkan natal.
“Mengucapkan Natal adalah bentuk ungkapan saling menghormati antar pemeluk agama,” kata Gus Sholah kepada Kompas.com, Jakarta, Kamis (20/12/2012).
Gus Sholah menambahkan, para ulama yang melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal perlu mencari alasan tepat. Kendati demikian, Gus Sholah tidak menyalahkan para ulama itu. Menurutnya, ulama memiliki dasar pendapat sendiri. Gus Sholah hanya meminta agar para ulama memikirkan dampak sosial dari ucapannya. Pasalnya, ucapan mereka berdampak luas.
“Aspek sosial tidak pernah melarang Muslim mengucapkan Natal. Saya sendiri juga mengucapkan Natal,” pungkasnya….”
[http://nasional.kompas.com/read/2012/12/20/14473966/Gus.Sholah.Muslim.Boleh.Ucapkan.Natal]
Saya sangat sedih membaca ucapan di atas seraya menganggap bahwa ucapan tersebut adalah hal yang menyesatkan dan berbahaya bagi umat Islam.
Ada tiga pokok kerusakan yang memicu timbulnya ucapan rusak di atas:
Pertama, pemilik ucapan di atas tidak memahami dasar penting dan kaidah masyhur di kalangan umat Islam tentang larangan memberi ucapan selamat untuk hari raya kaum kafir. Padahal, tidak ada silang pendapat ulama fikih di seluruh madzhab akan keharaman memberi ucapan selamat pada simbol-simbol agama kaum kafir.
Salah seorang pemuka ulama yang diakui akan keluasan pengetahuannya tentang pendapat-pendapat ulama Islam dari masa shahabat hingga masa beliau, Ibnul Qayyim, berkata, “Adapun memberi ucapan selamat untuk simbol-simbol kekafiran yang berkaitan khusus dengannya, (hal tersebut) adalah haram menurut kesepakatan (ulama), seperti memberi ucapan selamat pada hari-hari raya dan puasa mereka, (yaitu) seseorang berkata, ‘Hari raya berberkah untukmu,’ atau engkau memberi ucapan selamat untuk hari raya tersebut dan semisalnya. Kalau orang yang mengucapkan (ucapan selamat) tersebut selamat dari kekafiran, (ucapan itu) merupakan hal-hal yang diharamkan, seperti orang yang memberi ucapan selamat kepada orang yang sujud kepada salib, bahkan hal tersebut dosanya lebih berat di sisi Allah dan lebih dibenci daripada dia memberi ucapan selamat kepada orang yang meminum khamar, membunuh jiwa, melanggar kemaluan yang diharamkan, dan semisalnya. Banyak orang, yang tidak memiliki penghargaan terhadap agama, terjatuh ke dalam perbuatan tersebut, sedang dia tidak mengetahui kenistaan perbuatannya. Barang siapa yang memberi ucapan selamat kepada seseorang untuk suatu maksiat, bid’ah, atau kekafiran, sungguh dia telah menghadapkan (dirinya) kepada kebencian dan kemurkaan Allah ….” [Ahkâm Ahlidz Dzimmah 1/441]

Kedua, kejahilan terhadap dalil-dalil yang mengharamkan pemberian ucapan selamat untuk hari raya orang kafir.
Banyak dalil yang menunjukkan akan keharamannya, di antaranya adalah:
Pertama, Allah mengharamkan memberi loyalitas kepada orang-orang kafir. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali (kalian) yang sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian yang memberi loyalitas kepada mereka, sesungguhnya orang itu termasuk ke dalam golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah memberi hidayah kepada orang-orang zhalim.” [Al-Mâ`idah: 51]
Kedua, Allah melarang condong kepada orang-orang kafir dalam bentuk apapun. Allah berfirman,
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zhalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong pun, kecuali Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan.” [Hûd: 113]
Ketiga, orang-orang kafir yang gemar bermaksiat dan berbuat kekafiran terhitung ke dalam golongan yang Allah cela sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.”[Al-Hasyr: 19]
Keempat, kita hanya diperintah untuk mengikut syariat kita dan dilarang untuk mengikut selainnya. Allah berfirman,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah segala sesuatu yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (darinya).” [Al-A’râf: 3]
Allah juga berfirman,
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ، إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
“Kemudian Kami menjadikan engkau berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu) maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak siksaan Allah darimu sedikitpun. Sesungguhnya orang-orang zhalim itu sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah wali orang-orang yang bertakwa.” [Al-Jâtsiyah: 18-19]

Pokok Kerusakan Ketiga, ketidakpahaman akan perbedaan syariat membenci agama orang kafir dan syariat berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin.
Memang, dalam agama kita, terdapat kebolehan untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi agama. Allah berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ، إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian terhadap orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Mumtahanah: 8-9]
Dalam buku-buku fiqih dan akhlak, telah terurai secara lengkap seputar keindahan Islam dalam mengatur interaksi dengan orang-orang kafir, baik kafir itu sebagai keluarga, kerabat, tamu pribadi, tetangga, tamu negara, sesama penduduk negara, maupun selainnya.
Namun, banyak orang-orang, yang pemikirannya rusak, mencampuradukkan prinsip-prinsip Islam sehingga menyesatkan pemahaman dan mengaburkan tuntunan.
Seorang muslim dan muslimah wajib membedakan antara perintah agama untuk membenci orang-orang kafir, agama, dan kebiasaan mereka dan perintah berbuat baik kepada kaum kafir dengan ketentuan yang telah disebutkan.
Sebagaimana, harus dibedakan antara memberi loyalitas yang bermakna kecintaan dan pertolongan dan berbuat baik kepada kaum kafir.
Pembahasan toleransi hanya pada berbuat baik, bukan pada masalah loyalitas.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh membenarkan agama kaum kafir dan memberi ucapan selamat untuk hari raya mereka.
Semoga Allah memberi hidayah dan petunjuk kepada seluruh kaum muslimin dan menjaga mereka dari segala hal yang membahayakan agama mereka. Amin.
Wallahu A’lam.

Friday 26 July 2013

Bookmark and Share
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam firman-Nya,
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
“Dan bacakanlah apa-apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (Al-Qur`an). Tiada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan engkau tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain Dia.” [Al-Kahf: 27]
Juga dalam firman-Nya,
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ. وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ
“Aku hanya diperintah untuk menyembah Rabb negeri (Makkah) ini Yang telah menjadikan (negeri) itu suci, dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu. Serta, aku diperintah agar aku tergolong sebagai orang-orang yang berserah diri, dan supaya aku membacakan Al-Qur`an (kepada manusia).” [An-Naml: 91-92]
Kepada kaum mukminin, Allah ‘Azza wa Jalla menganjurkan,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca (tilawah) kitab Allah, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka secara diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. (Yakni) agar Dia menyempurnakan pahala untuk mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fathir: 29-30]
Tidak diragukan bahwa membaca Al-Qur`an adalah salah satu tugas pokok seorang muslim dan muslimah serta sumber kebaikan dan kebahagiaan yang dia tidak bisa terlepas dari kehidupannya.
Membaca Al-Qur`an sesuai dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla akan mewariskan keimanan yang sangat agung di dalam Allah dan akan menambah keyakinan, ketenangan, dan kelembutan[1].
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا.
“Dan dari Al-Qur`an, Kami menurunkan sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, sedang Al-Qur`an itu tidaklah menambah (sesuatu) kepada orang-orang zhalim, kecuali kerugian.” [Al-Isra`: 82]
Keutamaan dan manfaat membaca Al-Qur`an tentunya sangatlah banyak. Namun, yang menjadi masalah pada sebagian kaum muslimin pembaca Al-Qur`an adalah kurangnya pengaruh pada jiwa dalam membaca Al-Qur`an Al-Karim.
Oleh karena itu, pada tulisan ini, kami akan menjelaskan beberapa kiat yang bisa membantu seorang muslim dan muslimah agar hati dan jiwanya lebih tersentuh serta lebih membuat dia bisa cinta dan mengagungkan Al-Qur`an.
Berikut penjelasan beberapa kiat tersebut dengan memohon pertolongan kepada Allah.

Pertama, mengetahui keutamaan, keagungan derajat, dan ketinggian kedudukan Al-Qur`an sehingga seseorang membaca Al-Qur`an dengan penuh kegembiraan dan rasa harap, serta penuh penghormatan, pengagungan, dan rasa takut kepada Allah, Yang menurunkan Al-Qur`an tersebut. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ.
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang pelajaran dari Rabb kalian kepada kalian, penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengan itu. (Karunia Allah dan rahmat-Nya) itu adalah lebih baik daripada apa-apa yang mereka kumpulkan. ” [Yunus: 57-58]

Kedua, pengetahuan seorang hamba bahwa Al-Qur`an adalah kalamullah (firman Allah) yang merupakan sebaik-baik pembicaraan dan ucapan jujur yang teragung dan terbenar.
Mencermati bahwa Al-Qur`an adalah kalamullah akan membuat pembaca Al-Qur`an merasakan bahwa seakan-akan Allah berbicara kepadanya. Tentunya, pengagungan seperti ini akan berpengaruh kepada hati seorang hamba. Allah‘Azza wa Jalla berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ.
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]

Ketiga, membaca Al-Qur`an dengan menadabburi dan mencermati kandungannya.
Karena, maksud utama penurunan Al-Qur`an adalah agar kita menadabburi ayat-ayat-Nya sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya,
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ.
“Ini adalah sebuah kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” [Shad: 29]
Meninggalkan tadabbur terhadap Al-Qur`an akan menimbulkan kekerasan dalam hati. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا.
“Maka apakah mereka tidak menadabburi Al-Qur`an, ataukah hati mereka terkunci?” [Muhammad: 24]
Hendaknya diketahui bahwa menadabburi dan mencermati Al-Qur`an adalah lebih baik daripada sekadar membaca Al-Qur`an. Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al-Asqalânyrahimahullâh berkata, “Siapa saja yang membaca (Al-Qur`an) dengan tartil dan mencermati (Al-Qur`an), dia bagaikan orang yang bersedekah dengan suatu permata yang sangat mahal.”[2]
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur`an dengan tafakkur (memikirkan dan merenunginya) hingga, jika melalui sebuah ayat yang dia perlukan dalam mengobati hatinya, dia mengulangi walaupun seratus kali, bahkan semalam penuh, karena membaca satu ayat dengan tafakkur dan memahami (ayat) itu adalah lebih baik daripada bacaan khatam tanpa tadabbur dan memahami. (Hal tersebut) juga lebih bermanfaat bagi hati dan lebih mengajak untuk memperoleh keimanan dan merasakan kemanisan Al-Qur`an.”[3]

Keempat, membaca Al-Qur`an dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâdari gangguan syaithan yang terkutuk. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ.
“Apabila membaca Al-Qur`an, hendaklah engkau meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” [An-Nahl: 98]
Hendaknya dia membaca, “A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm,” dengan menyadari bahwa syaithan sungguh berusaha memalingkannya dari mengambil manfaat dan mengamalkan Al-Qur`an.

Kelima, membaca Al-Qur`an dengan rasa khusyu’. Allah telah memerintah, disertai dengan peringatan, kepada orang-orang yang beriman dalam firman-Nya,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ.
“Belumkah datang waktunya, bagi orang-orang yang beriman, untuk hati mereka khusyu’ dalam mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, (tetapi) kemudian hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik.” [Al-Hadîd: 16]

Keenam, membaca Al-Qur`an secara tartil.
Allah telah memerintahkan dalam firman-Nya,
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا.
“Dan bacalah Al-Qur`an itu secara tartil (perlahan-lahan).” [Al-Muzzammil: 4]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh dengan membaca secara tartil dalam shalat malamnya. Jika melewati bacaan ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Jika melewati bacaan ayat tentang rahmat, beliau berhenti dan memohon rahmat Allah. Bila melalui bacaan ayat tentang ayat adzab, beliau berlindung kepada Allah[4].
Dalam sebuah hadits[5], Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam hanya dengan mengulangi membaca sebuah ayat, yaitu firman AllahTa’âlâ,
إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.
“Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, tetapi jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al-Maidah: 118]

Ketujuh, mempelajari kandungan dan tafsir Al-Qur`an dari para ulama.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah (baca: masjid) di antara rumah-rumah Allah, yang mereka membaca kitab Allah dan saling mempelajari (kitab) tersebut di antara mereka, kecuali bahwa pasti turun ketenangan di tengah mereka, mereka akan diliputi rahmat, dinaungi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut mereka (di depan para malaikat) di sisi-Nya.”

Kedelapan, memahami makna tilawah Al-Qur`an yang sebenarnya.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ.
“Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab, mereka menilawah (Al-Qur`an) dengan bacaan yang sebenarnya. Mereka itu beriman kepada (Al-Qur`an). Dan barangsiapa yang ingkar terhadap (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang merugi.” [Al-Baqarah: 121]
Tilawah terhadap Al-Qur`an adalah dengan tiga hal:
  1. Membacanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembacaan Al-Qur`an yang ada di kalangan ahli qirâ`ah dan tajwid.
  2. Memahami kandungan dan penafsirannya.
  3. Mengimani dan mengamalkan kandungan dan hukum-hukumnya[6].

Kesembilan, mencontoh keadaan para nabi dan orang-orang shalih dalam membaca Al-Qur`an.
Salah satu sifat para malaikat, yang selalu taat dan takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, adalah membaca kalamullah sebagaimana dalam firman-Nya,
فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا.
“Dan demi (rombongan malaikat) yang membacakan Kalamullah.” [Ash-Shaffat: 3]
Tentang para nabi, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا.
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah Allah beri nikmat, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dari keturunan Ibrahim dan Israil, serta dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” [Maryam: 58]
Juga, Allah menjelaskan sifat orang-orang yang berilmu saat mendengar ayat-ayat Allah sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا. وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا.
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, bersungkur di atas muka mereka sambil bersujud seraya berkata, ‘Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka bersungkur di atas muka mereka sambil menangis, dan mereka pun bertambah khusyu’.” [Al-Isra`: 107-109]
Nabi kita, Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menangis pada banyak keadaan dalam membaca Al-Qur`an atau ketika mendengar bacaan Al-Qur`an para shahabat sebagaimana telah sah dalam sejumlah hadits.

Kesepuluh, kekhawatiran terhadap diri bila tergolong sebagai orang-orang yang meninggalkan dan mengacuhkan Al-Qur`an.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah mengingatkan,
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا.
“Berkatalah Rasul, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an itu sebagai sesuatu yang tidak diacuhkan.’.” [Al-Furqan: 30]
Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebut lima bentuk tentang meninggalkan Al-Qur`an:
  1. Meninggalkan mendengar, mengimani, dan memperhatikan Al-Qur`an.
  2. Meninggalkan beramal dengan Al-Qur`an serta berhenti pada setiap halal dan haramnya.
  3. Meninggalkan berhukum dan tahâkum kepada Al-Qur`an.
  4. Meninggalkan tadabbur dan memahami (Al-Qur`an).
  5. Meninggalkan berobat dan mencari kesembuhan dengan (Al-Qur`an)[7].
Demikianlah sepuluh kiat agar hati lebih tersentuh ketika membaca Al-Qur`an. Semoga Allah membersihkan hati dan jiwa kita dari segala dosa dan maksiat, dari segala penyakit dan bahaya, serta semoga Allah senantiasa memerangi dan menyejukkan hati-hati kita dengan Al-Qur`an Al-Karim. Innahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi wa huwa jawwadun karîm.
[Disarikan dari Makalah Tsamaniyyah Khathawât Min Ajl Qirâ’ah Mu`tsirah Li Al-Qur`ân Al-Karîm dengan banyak tambahan]


[1] Majmû’ Al-Fatâwâ 7/283 karya Ibnu Taimiyah.
[2] Fath Al-Bâry.
[3] Miftâh Dâr As-Sa’âdah.
[4] Diriwayatkan oleh Muslim.
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah dengan sanad yang hasan. Bacalah Ashl Shifât Ash-Shalah 2/534-535 karya Al-Albâny.
[6] Ahkâm Min Al-Qur`ân Al-Karîm 1/322 karya Syaikh Shalih bin ‘Utsaimin.
[7] Al-Fawâ`id.
 Renungan dari Ayat-Ayat Al-Qur`an » Prasangka, Mencari-cari Kejelekan Orang lain, dan Ghibah
Bookmark and Share
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari kejelekan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. [Al-Hujârât: 12]
Ada tiga akhlak buruk yang dicela dalam ayat di atas,
Pertama, prasangka tak berdasar.
Allah melarang orang-orang yang beriman dari kebanyakan prasangka, yaitu tuduhan dan anggapan berkhianat terhadap keluarga, kerabat, dan manusia, hal yang bukan pada tempatnya. Sebagian dari hal tersebut telah dipastikan sebagai dosa, dan kebanyakannya ditinggalkan untuk berhati-hati darinya. ‘Umar bin Al-Khaththab berkata, “Jangan sekali-kali engkau menyangka suatu kalimat yang keluar dari saudaramu kecuali kebaikan, sepanjang engkau masih menemukan kemungkinan kebaikan pada (kalimatnya).” [Tafsir Ibnu Katsir]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Hati-hatilah kalian dari prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dusta pembicaraan, janganlah kalian mendengar pembicaraan orang lain, janganlah kalian ber-tajassus (mencari-cari kejelekan orang), janganlah kalian saling bersaing, janganlah kalian saling hasad, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi, dan jadilah kalian –wahai hamba-hamba Allah- sebagai orang-orang yang bersaudara.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu]
Kalau kita memeriksan diri masing-masing, mungkin banyak dari kita tergolong orang-orang yang banyak berprasangka jelek kepada saudaranya.Semoga Allah mengampuni kita semua.
Kedua, mencari-cari kejelekan orang lain.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan,
إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ، أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ
“Apabila engkau mencari-cari aurat manusia, sungguh engkau telah merusak mereka atau hampir merusak mereka.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban dari Mu’âwiyah radhiyallâhu ‘anhu. Dishahihkan oleh An-Nawawy, Al-Albany dan Al-Wâdi’iy]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا المُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ المُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang beriman dengan lisannya, sedangkan keimanan belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin juga janganlah mencela mereka, serta janganlah kalian mencari-cari aurat mereka. Sesungguhnya, barangsiapa yang mencari-cari aurat saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Barangsiapa yang auratnya dicari-cari oleh Allah, niscaya Allah akan mempermalukannya, walaupun dia berada di tengah rumahnya.” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya dari Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahîhul Jamî’]
Jangan suka mencari kejelekan orang lain, selain hal tersebut adalah dosa besar, tentu akan lebih bermanfaat kita memperbaiki dan membaca kejelekan sendiri.
Ketiga, Ghibah.
Definisi ghibah diterangkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sabda beliau,
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Engkau menyebut saudaramu dengan hal yang dia tidak sukai.”
Seorang bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika yang kuucapkan itu ada pada saudaraku?” Beliau menjawab,
إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika apa yang engkau ucapkan ada padanya, sungguh engkau telah mengghibahnya. Jika (apa yang engkau ucapkan) tidak terdapat padanya, sungguh engkau telah berbuat kedustaan terhadapnya.”[Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.]
Cukup banyak hadits yang menjelaskan tentang bahaya ghibah dan besar dosa dalam hal tersebut. Cukuplah ayat ini sebagai peringatan. Allah telah memperumpamakan ghibah seperti seorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Hanya orang yang tak memiliki hati yang tidak membenci hal tersebut.
Perintah bertakwa di akhir ayat adalah renungan untuk memperbaiki diri dengan melaksanakan segala ketaatan dan meninggalkan segala larangan.
Berusahalah untuk menjaga lisan, berbaik sangkalah kepada saudaramu, dan sibuklah dengan membenahi diri sendiri.
Bookmark and Share

Bookmark and Share
Fatwa Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmyrahimahullâh
Pertanyaan
Kami sedang mengalami fenomena dari para irhabiyyin ‘teroris’, yaitu perbuatan mereka yang mereka namakan amaliyyâtistisyhâdiyah ‘amalan-amalan menuntut kesyahidan’, maka apakah hukum perbuatan tersebut?
Jawaban
Tindakan-tindakan ini adalah tindakan-tindakan bunuh diri, pelakunya (dianggap sebagai) orang yang bunuh diri. (Perbuatan ini) adalah haram, tidaklah boleh melakukannya, meskipun mereka (para pelaku dan pendukungnya, -pent.) menyangka bahwa mereka melakukan (perbuatan) ini sebagai jihad. Sangkaan ini tidaklah benar, bahkan ini adalah tindakan bunuh diri (semata) serta pembunuhan terhadap kaum muslimin, menumpahkan darah yang haram (untuk ditumpahkan), membunuh jiwa-jiwa yang terjaga, dan merusak harta-harta yang diharamkan (untuk dirusak). Semua (perbuatan) ini telah mengumpulkan segala kejelekan, dan bersama mereka terdapat banyak sekali kejelekan, dan kita berlindung kepada Allah.[1]
Fatwa Syaikh Rabî’ bin Hâdy Al-Madkhaly hafizha­hullâh
Pertanyaan
Kami sedang mengalami fenomena dari para irhabiyyin ‘teroris’, yaitu perbuatan mereka yang mereka namakan amaliyyât istisyhâdiyah ‘amalan-amalan menuntut kesyahidan’, maka apakah hukum perbuatan tersebut?
Jawaban
Amalan ini adalah perbuatan dosa yang Allah Tabâraka wa Ta’âlâ telah mengharamkannya. Adapun orang yang membunuh dirinya, tempatnya adalah di neraka, dia kekal di situ selamanya, sebagaimana (keterangan yang) datang dalam hadits,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيْدَةٍ فَحَدِيْدَتُهُ فِيْ يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِيْ بَطْنِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا … وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا
“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sepotong besi, besinya itu akan berada di tangannya, dia memukul-mukul perutnya dengan besi itu di dalam neraka, (dia) kekal di dalam neraka itu selamanya[2] …, dan barang siapa yang menghempas­kan dirinya dari (atas) gunung sehingga dia membunuh dirinya, dia akan (terus dalam keadaan) terhempas di dalam neraka, tempat dia kekal pada neraka itu selamanya.” [3]
Maka, (amalan) ini adalah perkara yang haram dan tidak boleh … (ada kata yang agak samar) … yang nash-nash telah menjelaskan akan keburukan amalan ini, (juga tentang) mengerikannya serta diharam­kannya.
Orang yang betul-betul menghormati dinul Islam tidak akan berbuat seperti perbuatan ini,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian.” [At-Taghâbun: 16]
Bagi seseorang, yang pertama (yang seharusnya ia lakukan) adalah belajar, yang kedua adalah mengajar dan menyebarkan dakwahnya di tengah-tengah kaum muslimin hingga ada suatu umat yang berjihad untuk meninggikan kalimat Allah. Adapun orang yang tidak berdakwah kepada tauhidillah ‘pengesaan kepada Allah dalam beribadah’, tidak pula kepada pengikhlasan agama (hanya) kepada Allah, sementara dia melihat kesyirikan-kesyirikan, bid’ah-bid’ah, dan kesesatan-kesesatan lalu dia tidak menangani (untuk mengatasinya), (tetapi) yang ia lakukan hanyalah gangguan dengan “menyembelih” dirinya, hal ini tidak akan pernah memberikan manfaat kepada Islam dan kaum muslimin. Dia membinasakan dirinya di dunia dan akhirat, dan pada hal yang demikian itu, dia tidak memiliki kebaikan apapun yang bermanfaat baginya, baik dalam (kehidupan) duniawi maupun ukhrawinya, dan tidak memberi manfaat kepada Islam dan kaum muslimin.
Amalan yang bermanfaat bagi kaum muslimin adalah kita kembali -pada sesuatu yang telah kusebutkan pada ceramah yang telah berlalu- kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ‘alaihish shalâtu was salâm. (Kitabullah dan Sunnah) itu adalah ukuran yang akan mewujudkan kemuliaan dan kemenangan, dan dengannya, akan terwujud jihad yang benar yang bertujuan untuk meninggikan kalimat AllahTabâraka wa Ta’âlâ.
Adapun amalan-amalan jahiliyah ini, amalan-amalan ini (hanya) dilakukan oleh orang-orang Hindu, dilakukan oleh orang-orang Jepang, dan dilakukan oleh orang-orang Nashara dan Yahudi. Tidak ada di dalam Islam hal-hal seperti ini dan tidak pernah melekat pada kaum muslimin amalan ini. Hal ini sangat jauh dari sesuatu yang mereka cintai dan dari sesuatu yang mereka pesankan/sampaikan kepada manusia.
Aku nasihatkan kepada mereka (pelaku perbuatan) ini agar bertakwa kepada Allah, agar belajar dan menyebarkan agama Allah yang haq sebab sesungguhnya hal ini termasuk jihad terbesar, agar mereka membela kepedihan umat ini dengan agama Allah yang haq, serta menunaikan sebab-sebab yang menghidupkan umat ini dengan agama Allah yang haq,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” [Al-Anfâl: 24]
Manusia (kaum muslimin) berada dalam ketelantaran, kesengsaraan, dan tidak akan menikmati kehidupan yang baik, yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat, kecuali kalau mereka menerapkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, serta mengambil sebab-sebabnya. Hal itulah yang bermanfaat untuk mereka.
Boleh jadi orang yang bunuh diri ini adalah seorang penganut khurafat maka apa yang akan bermanfaat baginya?
Meskipun pelaku bunuh diri ini adalah orang yang ikhlas, apa pula yang akan bermanfaat baginya dari amalan ini?
Apa (amalan) yang mencukupi untuk umat?
Betapa banyak kejelekan yang menimpa umat ini karena amalan-amalan yang semisal dengan ini, peledakan-peledakan, bunuh diri, dan (amalan-amalan) yang semodel dengan (amalan) itu. Perkara-perkara ini tidak pernah dilakukan oleh para nabi, tidak pula oleh para shahabat, tidak juga oleh para imam Islam yang ikhlas. Mereka ini tidak pernah menyeru manusia kepada perkara ini. Hal ini tidak lain adalah seruan-seruan dakwah orang-orang jahil dan amalan-amalan para syaithan. Kita memohon kepada Allah agar menunjuki umat ini kepada hal yang bermanfaat baginya dan agar umat ini bisa mendapatkan para da’i yang shadiq (benar dan jujur) serta para ulama yang memberi nasihat. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Mendengar segala do’a.[4]
Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ar-Râjihy hafizhahullâh
Pertanyaan
Apa pandangan engkau tentang pergerakan-pergerakan yang mencari syahid yang ada di permukaan bumi saat ini?
Jawaban
Saya memandang bahwa hal ini bukanlah suatu hal yang disyariatkan. (Keterangan) yang tampak dari dalil-dalil bahwa hal itu bukanlah perkara yang disyariatkan sebab hal itu bukan salah satu jenis duel antara dua barisan dalam peperangan, dan bukan salah satu jenis perbuatan orang yang melemparkan dirinya melawan Romawi. Mereka (orang-orang yang membolehkannya, -pent.) berkata bahwa hal ini termasuk di antara jenis tersebut, (tetapi) kita mengatakan bahwa hal ini bukan salah satu jenis tersebut (karena beberapa alasan):
Pertama, pergerakan-pergerakan, yang mereka namakan sebagai pergerakan mencari syahid, bukan dalam barisan perang, tetapi hanya datang tanpa keberadaan perang; (pergerakan) itu datang kepada sekelompok manusia yang lengah kemudian meledakkan dirinya di tengah-tengah mereka. Perbuatan ini bukanlah (dilakukan) dalam barisan perang, sementara (keterangan dari) nash-nash yang datang keadaannya berada dalam barisan perang, yang kaum muslimin (berada pada) satu barisan perang dan kaum kafir (berada pada) satu barisan. Mereka saling berperang kemudian seorang mukmin melemparkan dirinya di tengah orang-orang kafir.
Kedua, orang-orang yang menerjunkan dirinya di tengah orang-orang kafir tidaklah membunuh dirinya karena terkadang ia selamat. Berbeda dengan orang-orang yang meledakkan dirinya, hal ini namanya bunuh diri dengan meledakkan dirinya.
Ketiga, bahwa telah tsabit (tetap/sah) riwayat tentang perang Khaibar bahwa tatkala ‘Âmir Ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu berduel melawan seorang Yahudi, -(keterangan) ini dalam Shahîh Al-Bukhâry [5]-, mata pedang beliau membalik ke arahnya sehingga mengenai bagian kakinya, kemudian beliau meninggal. Maka, sebagian shahabat berkata, “Sesungguhnya ‘Âmir Ibnul Akwa’ telah membatalkan jihadnya bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendatangi saudara (‘Âmir), (yaitu) Salamah Ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu, yang ternyata Salamah sedang bersedih. Maka beliau menanyakannya. (Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya mereka mengatakan bahwasanya ‘Âmir telah batal jihadnya,” maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamberkata, “Sungguh telah berdusta orang yang mengatakan demikian. Sungguh dia telah bersungguh-sungguh dan seorang mujahid, sangat sedikit orang Arab yang tumbuh dengan sifat demikian.” Bila shahabat saja kesulitan memahami perihal ‘Âmir, yang mata pedangnya membalik ke arahnya di luar kehendaknya[6], lalu mereka berkata bahwa (‘Âmir) telah batal jihadnya, bagaimana pula dengan orang-orang yang meledakkan dirinya atas pilihannya sendiri?[7]
Fatwa Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jâbiry hafizhahullâh
Pertanyaan
Apa hukum amaliyyât intihâriyyah ‘aksi-aksi bunuh diri’, yang dilakukan oleh sebagian orang yang berperang pada hari-hari ini?
Jawaban
(Perbuatan tersebut) adalah nama di atas penamaannya, yaitu intihâriyyah ‘bunuh diri’, walaupun sebagian orang menamakannya istisyhadiyah ‘menuntut kesyahidan’. Hal tersebut adalah bunuh diri, (karena):
Pertama, telah datang nash-nash shahih yang sangat banyak dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan bentuk umum bahwa orang yang membunuh dirinya berada di dalam neraka.
Kedua, amalan-amalan tersebut tidak membuat nikâyah ‘ke­kalahan, kehancuran’ terhadap musuh, bahkan hanya semakin mengobar­kan, membangkitkan, dan memicu (kemarahan) musuh, serta menggerakkan kekuatan yang tadinya mereka sembunyikan terhadap umat Islam.
Ketiga, setelah melihat ke bumi tempat kejadian -sebagaimana yang mereka katakan-, apa (dampak) yang ditimbulkan oleh amaliyyât intihâriyyah ini untuk Palestina terhadap Israel[8]? Pelaku bunuh diri atau penuntut kesyahidan ini -menurut penamaan mereka- meledakkan diri dan mobilnya, merusak bangunan-bangunan terbatas, seperti pompa-pompa bensin, stasiun kereta api atau tempat-tempat perniagaan, serta kadang ia membunuh beberapa orang dan melukai orang selainnya, tetapi apakah yang dilakukan oleh Israel? Karena hal tersebut, Israel menghancurkan (tempat) yang basah dan yang kering, menghancurkan berbagai negeri, dan menyerang tiba-tiba sejumlah rumah. Allah yang Maha Mengetahui akibat di belakang berbagai serangan tiba-tiba tersebut berupa perampasan, perompokan, dan pelanggaran terhadap kehormatan.
Maka, sewajibnya atas setiap orang yang berjihad untuk berusaha menjaga kemulian Islam dan menjauhi segala hal yang padanya ada kebinasaan untuk Islam dan penganutnya. Akan tetapi, mereka (para pelaku intihâriyyah) itu adalah orang-orang jahil, dan tidak ada bendera yang kuat, yang menegakkan hukum di tengah mereka, mengatur mereka dengan baik, dan mengajari mereka jihad yang benar dengan merujuk kepada para ulama. Yang ada hanyalah teriakan-teriakan sengau dan kelompok-kelompok. Setiap kelompok menguji coba kekuatannya dan memamerkan keperkasaannya. Bahkan, hal tersebut adalah amalan yang bodoh tanpa perhitungan yang membahayakan Islam dan penganutnya, membuat kerusakan dan tidak mengadakan perbaikan, bahkan hal tersebut sama sekali tidak tergolong ke dalam jihad syar’i dan sama sekali tidak berada di atas Sunnah.[9]


[1]      Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau pada Daurah Salafiyah, Medan, 28-29 Dzulhijjah 1426 H, bertepatan dengan 28-29 Januari 2006 M.
[2] Sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam“… (Dia) kekal di dalam neraka itu selamanya …,” sama dengan firman Allah Ta’âlâ,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin secara sengaja, balasan dia adalah Jahannam. Dia kekal di dalam (Jahannam) itu ….” [An-Nisâ`: 93]
Nash ayat dan hadits di atas, serta beberapa dalil yang semakna, dijadikan pegangan oleh kaum Khawârij dan Mu’tazilah dalam mengafirkan pelaku dosa besar. Tentunya pemahaman ini keliru dan batil karena beberapa alasan:
Pertama, makna yang dipahami oleh kaum Khawârij dan Mu’tazilah adalah hal yang bertentangan dengan dalil-dalil muhkamah ‘tegas, jelas’ perihal ketidakkafiran pelaku dosa besar –membunuh dan selainnya-. Pada hal. 267-271, kami telah menyebutkan sebagian dalil muhkamah tentang hal ini.
Kedua, para ulama bersepakat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka apabila dia meninggal di atas tauhid. Para ulama bersepakat pula bahwa pelaku dosa besar, dari kalangan orang-orang yang bertauhid, tidak kekal di dalam neraka jika dimasukkan ke dalam neraka tersebut sebagaimana penjelasan dalam hadits-hadits yang berjumlah mutawâtir.
Ketiga, penyebutan “kekal di dalam neraka” dalam sejumlah ayat dan hadits, terhadap sebagian pelaku dosa besar, tidak mesti bermakna kekal di dalam neraka dan tidak akan keluar lagi dari neraka tersebut. Hal ini karena penggunaan kata “kekal”, dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, mempunyai dua makna –di kalangan ahli tafsir dan ahli bahasa-:
  1. Kekal abadi, yaitu kekal di dalam neraka selama-lamanya, tidak akan keluar lagi dari neraka tersebut, sebagaimana penyebutan terhadap orang-orang kafir dalam berbagai ayat dan hadits.
  2. Kekal amadi ‘dalam jangka waktu yang sangat panjang’, yaitu pelaku dosa besar disiksa dalam jangka waktu yang sangat panjang sehingga sepintas lalu seseorang akan menyangka bahwa pelaku tersebut kekal di dalam neraka, padahal tidak.
Makna kedua inilah yang wajib digunakan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan ancaman kekekalan di dalam neraka bagi pelaku dosa besar dari kalangan orang-orang yang bertauhid. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.
Silakan membaca buku-buku tafsir ulama Salaf seputar pembahasan Surah An-Nisâ` ayat 93. Buku-buku ulama Salaf terdahulu banyak menjelaskan uraian masalah ini pada pembahasan pelaku dosa besar, pembahasan iman, dan pembahasan syafa’at bagi pelaku dosa besar.
Baca jugalah Ad-Durar As-Saniyyah 1/361, Syarh Al-‘Aqîdah Al-Wasithiyyah1/263-266 karya Ibnu ‘Utsaimin, Al-Wâfy hal. 165 karya Shalih Âlu Asy-Syaikh, dan selainnya.
[3]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 5778, Muslim no. 109, At-Tirmidzy no. 2048-2049, dan An-Nasâ`iy 4/66 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. -pen.
[4]      Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau pada Daurah Salafiyah, Medan, 28-29 Dzulhijjah 1426 H, bertepatan dengan 28-29 Januari 2006 M.
[5]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4196 dan Muslim no. 1802 dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu.
[6]      Apalagi hal ini terjadi dalam sebuah peperangan dan jihad syar’i -pen.
[7]      Dari kaset fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi, dan pembunuhan senyap, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 132-133 secara ringkas.
[8] Pada hal. 336 cat. kaki no. 391, telah berlalu kritikan unutk penyebutan Yahudi, penjajah Palestina, dengan nama Israil. Hal ini tentu dimaklumi di sisi Syaikh ‘Ubaid Al-Jâbiry hafizhahullâh. Namun, sebagian ulama kadang menyebut namaIsrail sebagai suatu nama yang telah melekat di kalangan orang-orang awam. Oleh karena itu, penggunaan nama tersebut kadang bukan karena pembolehan, melainkan dari sisi menyampaikan sesuatu kepada manusia berdasarkan hal-hal yang mereka pahami. Wallâhu A’lam.
[9]      Dari kaset fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi, dan pembunuhan senyap dengan perantara Al-Fatâwâ Al-Muhimmah Fî Tabshîr Al-Ummah hal. 81-82 karya Jamâl Al-Hâratsy.